Fenomena bunuh diri tampaknya mulai merambah ke kalangan anak-anak dan remaja. Yang membuat miris, perbuatan nekat itu hanya karena persoalan sepele. Keinginan tak dipenuhi, sering dimarahi, malu belum membayar iuran sering menjadi pemicu anak-anak bunuh diri.
Orang tua mungkin menganggap sepele persoalan itu, tapi tidak demikian dengan anak- anak.
Kasus terakhir dilakukan oleh Ahmad,15, siswa kelas 2 STM di Koja. Dia nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri di kusen jendela kamar rumah orang tuanya, di Legoa, Koja, Jakut, Minggu (19/10) siang.
Rasa kecewa karena tidak dibelikan sepeda motor oleh orang tuanya menjadi pemicu aksi nekat pelajar itu. Jasad Ahmad ditemukan oleh neneknya Seba, 56, yang curiga karena sejak pagi ia tidak juga keluar kamar.
Perempuan asal Tegal, Jateng, itu lalu naik ke loteng kamar. Wanita ini menjerit histeris manakala melihat pemandangan mengerikan. Tubuh cucunya sudah kaku tergantung di kusen. Pelajar STM Hasanudin, Lagoa itu tewas dengan lidah menjulur.
KEPINGIN MOTOR
Ahmad adalah anak semata wayang dari Mimi, 36, buruh pabrik garmen di KBN Marunda. Sejak bayi, Ahmad tinggal di rumah neneknya bersama sang ibu. “Ibunya bercerai sejak Ahmad kecil,” sebut Agung, kerabat korban.
Selama ini Ahmad dikenal sebagai sosok remaja pendiam dan jarang bergaul. Sikap pendiam inilah yang kerap membuat bingung keluarga yang khawatir ada keinginan yang terpendam.
Pagi hari sebelum korban ditemukan tewas, Ahmad sempat ‘curhat’ kepada Agung. “Dia mau minjam motor matik, tapi dikasih sama pamannya motor bebek biasa,” ujar Agung yang ditemui di rumah duka, kemarin.
Bahkan, saat itu, korban juga sempat mengutarakan rasa kecewanya lantaran sang ibu tidak bisa memenuhi keinginannya memiliki motor matik impiannya.
SEPEDA RUSAK
Sebelumnya, tindakan mengerikan juga nyaris merenggut nyawa Rr, seorang bocah perempuan berusia 7 tahun. Dia gantung diri pakai kain selendang di kamar rumah orang tuanya di kawasan Jakarta Selatan, Jumat (10/10).
Beruntung nyawa bocah ini bisa diselamatkan meskipun dia harus dirawat intensif di rumah sakit. Diduga kuat Rr nekat kepingin mati lantaran takut dihardik oleh kedua orang tuanya, setelah ia merusak sepeda yang baru saja dibelikan oleh sang ayah.
Beragam kasus bunuh diri dengan cara beragam pula dilakukan anak dan remaja dengan alasan yang terkadang dianggap kurang masuk akal dan dianggap sebagai persoalan sederhana.
Linda,15, pelajar sebuah SMP di Jakarta Selatan misalnya. Remaja ini nekat bunuh diri karena malu sering diejek teman-temannya akibat pernah tak naik kelas. Di Bogor, pelajar SD perutnya robek akibat lompat dari pohon. Dia mencoba bunuh diri karena malu belum bayar uang pangkal sekolah.
Di Bekasi juga pernah terjadi kasus serupa. Am, 14, pelajar SD minum racun karena orang tuanya tak mampu menyediakan uang Rp150 ribu untuk nebus ijazah dan biaya perpisahan.
PENGARUH MEDIA
Psikolog UI, Tika Bisono mengatakan fenomena bunuh diri pada anak-anak dibawah umur ada beberapa faktor. Entah itu karena tekanan dari orang tua, lingkungan bermain ataupun karena dorongan untuk memiliki sesuatu tidak terpenuhi.
“Pengaruh tersebut membuat si korban merasa tidak nyaman dan ketakutan sehingga dia mencoba melakukan hal tersebut,” jelasnya.
Selain faktor tersebut pengaruh acara televisi yang ekstrim seperti aksi kejahatan yang ditampilkan secara vulgar bisa memicu perilaku pada anak-anak. “Anak-anak masih perlu pengawasan dan pendampingan oleh keluarga karena daya nalar yang terbatas ketika menonton televisi yang terlalu ekstrim bisa mengubah perilakunya,” terang Tika.
Untuk itu ia minta film yang menyuguhkan kekerasan terhadap anak perlu segera distop. Keluarga harus bisa mengontrol dan mengawasi putra-putrinya dalam beraktivitas. ”Disiplin perlu diterapkan bukan memanjakannya. Karena anak butuh rasa kasih sayang dan bimbingan merasakan keluarga sebagai tempat berlindung,” sambungnya.
STRES BERLEBIHAN
Hal senada juga dikatakan Kak Seto, Ketua Komnas Perlindungan Anak. Seorang pelajar nekat bunuh diri karena stres yang berlebihan bisa karena faktor keluarga, lingkungan hingga sekolahnya.
“Guru membebani PR yang berlebihan, tuntutan terlalu tinggi secara akademi. Akhirnya si anak tidak terlatih kecerdasan emosi dan spritualnya,” kata Kak seto.
Sistem pendidikan kita saat ini, kata Kak Seto, tidak melatih kecerdasan emosi dan spiritual anak. Sudah selayaknya hal tersebut diberikan.
Lingkungan terdekat, yakni keluarga adalah faktor yang paling menentukan bagi perkembangan jiwa anak-anak. Bila komunikasi antara orang tua dan anak lancar, anak merasa ada perlindungan di dalam rumah maka perkembangan anak-anak bisa terkontrol.
from: www.poskota.co.id
Selasa, 21 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar