[JAKARTA] Sejumlah kalangan terus mendesak pemerintah untuk
menurunkan harga jual bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri,
seiring dengan terus anjloknya harga minyak mentah di pasar
internasional ke level US$ 60 per barel. Berdasarkan perhitungan,
pemerintah seharusnya berani menurunkan harga premium, yang paling
banyak dikonsumsi masyarakat, hingga sebesar 27 persen, atau menjadi
sekitar Rp 4.400 hingga Rp 4.500, dari harga saat ini Rp 6.000 per
liter.
Demikian diungkapkan, Wakil Ketua Panitia Kerja Anggaran DPR, Harry
Azhar Azis, ekonom dari Institute for Development of Economics and
Finance (Indef) Ahmad Erani Yustika, dan ekonom dari Econit, Hendri
Saparini, di Jakarta, Rabu (29/10) dan Kamis (30/10).
Harry mengungkapkan, hingga saat ini, anggaran subsidi BBM masih ada
penghematan sekitar Rp 10 triliun. Dengan turunnya harga minyak
dunia menjadi sekitar US$ 60 per barel, diperkirakan rata-rata harga
minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) mencapai US$ 105 per
barel. Dalam APBN Perubahan 2008, harga ICP ditetapkan US$ 115 per
barel. "Dengan demikian ada penghematan sekitar US$ 10 per barel
atau ekuivalen dengan Rp 10 triliun," ujar Harry.
Penghematan sebesar Rp 10 triliun, menurutnya, bisa mengkompensasi
penurunan harga subsidi selama 2 bulan terakhir, sebesar 27 persen
atau Rp 1.600 menjadi Rp 4.400 per liter untuk jenis premium.
Sementara itu, Ahmad Erani Yustika menuturkan, harga minyak mentah
saat ini sudah mencapai US$ 67 per barel, dan harga BBM Premium akan
mencapai harga keekonomiannya apabila harga minyak US$ 63 per
barel. "Jika harga minyak mentah menyentuh US$ 63 per barel dan
pemerintah tidak menurunkan harga BBM artinya tidak ada subsidi,"
ujarnya.
Oleh karenanya, dia mendesak pemerintah menurunkan harga BBM
bersubsidi saat ini. Tujuannya untuk mengurangi biaya produksi, agar
sektor riil dapat bergerak di tengah krisis ekonomi
global "Penurunan harga BBM juga akan meningkatkan daya beli
masyarakat sehingga permintaan bertambah," ujar Ahmad.
Hendri Saparini, mendesak pemerintah segera menurunkan harga BBM
kembali ke harga awal, Rp 4.500 per liter. Ini penting dilakukan
jika pemerintah konsisten dengan komitmennya mementingkan ekonomi
domestik.
Hendri menyadari, ada beberapa faktor yang memberatkan pemerintah
menurunkan harga BBM. Akibat krisis finansial, pemerintah sulit
membiayai defisit APBN karena surat utang negara (SUN) tidak
terpenuhi, sementara realisasi penerimaan pajak ikut menurun.
"Harus dibalik cara berpikirnya. Pemerintah penting memberikan
stimulus untuk sektor domestik. Dengan itu, pemerintah memperoleh
peningkatan pemasukan dari pajak. Yang perlu adalah orientasi
kebijakan, untuk mendorong ekonomi domestik," katanya.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo
Yusgiantoro menegaskan, kabinet belum ada skenario penurunan harga
BBM. "Kami masih melihat perkembangan harga minyak jadi masih sulit
untuk menurunkan harga BBM," ujarnya. [DLS/D-10]
http://www.suarapem baruan.com/ News/2008/ 10/30/Utama/ ut02.htm
Jumat, 31 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar