Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Djimanto mengatakan, dengan pelemahan rupiah, perusahaan-perusahaan manufaktur seperti sektor tekstil dan elektronik terkena dampak serius. Pasalnya, impor konten mereka yang besar membuat biaya produksi bakal melambung.
Dampak yang terasa adalah biasanya perusahaan-perusahaan menukar dolar dengan rupiah di pasar valas menggunakan kurs bawah. Sehingga jumlah rupiah yang diterima akan lebih kecil.
Sementara jika perusahaan harus membuka L/C (Letter of Credit) harus membeli dolar dengan ketentuan kurs atas sehingga terhitung menjadi lebih mahal. “Jadi, perusahaan bisa kena pukul dua kali,” papar Djimanto kepada INILAH.COM, di Jakarta, kemarin.
Karenanya ia mengingatkan agar industri lebih memperkuat pasokan bahan baku dari dalam negeri bahkan kalau perlu tidak perlu melakukan impor. “Untuk menciptakan kondisi itu, bahan-bahan baku harus diproduksi di dalam negeri,” tandasnya.
Begitu juga dengan barang jadi, tidak perlu impor. “Beli saja di pabrik-pabrik di Indonesia. Untuk itu, perlu insentif sebagai stimulus,” tandasnya.
Djimanto mengakui kondisi nilai tukar yang melemah ini akan mendorong pengusaha berlomba-lomba melakukan penetrasi pasar ekspor ke mancanegara. Sementara dari sisi impor akan terus di rem.
Untuk itu semua pihak dari mulai pemerintah, DPR, DPRD hingga otoritas moneter bersama-sama menciptakan suasana agar pengusaha lebih banyak belanja bahan baku di dalam negeri.
Sektor lain yang terkena dampaknya adalah produsen barang jadi (consumers good) jika masih mengandalkan bahan baku impor. Lebih terdampak lagi, jika semua produksinya dijual di dalam negeri. “Handphone dan komputer, itu pasti dampaknya lebih terasa.”
Tapi, tidak semua sektor manufaktur terkena imbas pelemahan rupiah. Seperti industri mebel yang tidak menggunakan bahan baku impor. ”Mebel itu local content-nya besar meskipun manufaktur. Tapi mereka juga banyak yang sudah ekspor sehingga lebih menguntungkan,” timpalnya.
Sedangkan lapangan usaha agro jelas tidak terdampak. Djimanto mencontohkan sawit, karet, coklat, dan batubara. Apalagi jika orientasinya ekspor. “Dia relatif lebih untung meskipun ekonomi dunia mengalami perlambatan,” imbuhnya.
Malah pendapatan sektor agro indusri ini bakal terdongkrak 25% meskipun merasa tidak nyaman dengan kondisi pasar valas saat ini mengingat perhitungan cashflow perusahaan yang selalu berubah-ubah.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis perkembangan nilai impor Indonesia sepanjang Agustus 2008 mencapai US$ 11,86 miliar atau menurun 7,42% dibanding Juli 2008. Terdiri dari impor migas US$ 2,89 miliar (24,37%) dan nonmigas US$ 8,97 miliar (75,63%).
Sementara selama Januari-Agustus 2008 nilai impor tercatat US$ 66,52 miliar dengan impor migas US$ 23,31 miliar (25,95%) dan impor nonmigas US$ 66,52 miliar (74,05%).
Impor nonmigas adalah mesin pesawat mekanik senilai US$ 11,90 miliar atau 17,88% dari total impor nonmigas Indonesia. Negara pemasok barang impor nonmigas terbesar ditempati China senilai US$ 10,01 miliar dengan pangsa 15,05%, diikuti Jepang US$ 9,49 miliar (14,27%) dan Singapura US$ 7,71 miliar (11,59%). Impor nonmigas dari Asean 23,65% dan Uni Eropa 10,27%. [E1]
http://www.inilah.com/berita/ekonomi/2008/10/28/57996/gejolak-valas-hentikan-impor/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar