Jakarta - Satu Hektar tanah milik Ahmad Rifki di Tambelang, Kabupaten Bekasi, sudah berpindah tangan. Tanah tersebut dijual Rifki Rp 80 juta untuk mengongkosi biaya jadi caleg di DPRD Kabupaten Bekasi, saat Pemilu 2004. Pada pemilu legislatif 2004, Rifki tercatat sebagai caleg DPRD dari PPP dengan nomor urut 3, untuk dapil 2 Kabupaten Bekasi, yang meliputi wilayah Cikarang dan Cibitung.
Untuk kepentingan pencalegan, bukan hanya tanah yang terpaksa ia jual. Uang puluhan juta yang ada di tabungannya juga ludes. Belum lagi uang sumbangan dari keluarga dan para kolega. Semuanya habis terpakai untuk kepentingan kampanye dirinya sebagai caleg. "Kalau dihitung-hitung, gue udah ngabisin uang seratusan juta lebih untuk maju sebagai caleg," jelas Rifki kepada detikcom.
Sayangnya, meski sudah banyak menghabiskan uang dan sibuk ke sana-sini, Rifki ternyata tidak lolos juga sebagai anggota dewan di Kabupaten Bekasi. Wajar bila Rifki sempat pusing tujuh keliling. Bukan hanya uang yang terkuras, tenaganya juga ikut terkuras saat itu.
Yang membuatnya semakin kesal, partai tempatnya berjuang waktu itu, yakni PPP, tidak memberikan apresiasi atas kerja kerasnya. Tidak ada ucapan terima kasih atau apapun kepadanya. Padahal, kata Rifki, dia sudah banyak berjuang untuk partai dan mengantarkan Wardatul Asriyah, istri Ketua Umum PPP Suryadarma Ali, menjadi caleg di dapil yang sama.
"Asriyah satu dapil dengan gue di dapil 2. Dia berada di nomor urut satu. Karena dulu sistem nomor urut, jadi Asriyah otomatis langsung masuk BPP dan menjadi anggota DPRD. Padahal yang bekerja keras caleg-caleg yang ada di bawahnya," sesal Rifki.
Namun sekalipun kalah, Rifki mengaku tidak sampai stres. Sebab ia sudah tahu risikonya bila ikut suatu pemilihan. "Kalau gue sih paling puyeng-puyeng saja. Tapi ngggak sampai stres," jelas Rifki.
Nasib Rifki memang beruntung sekalipun sudah banyak uang yang keluar dan kalah dalam pemilihan caleg, namun ia tetap bisa menjalani hidupnya secara normal.
Kekalahan dalam setiap ajang pemilihan, baik caleg atau calon kepala daerah menjadi risiko tersendiri bagi para kandidat. Sebab tidak sedikit dana yang dikeluarkan. Baik untuk biaya kampanye, membayar tim sukses, serta lobi ke partai politik.
Ketika sudah banyak uang yang dikeluarkan namun ternyata kalah. Akibatnya, sang calon bakal terbayang sejumlah uang yang telah dikeluarkan, berikut tagihan utang serta kuitansi yang menuntut untuk dibayarkan. Belum lagi rasa malu. Hal inilah yang membuat setiap calon pusing, stres, bahkan ada yang sampai gila.
Misalnya yang terjadi pada Yuli Nursanto alias Yuli Goong. Calon Bupati Ponorogo periode 2005-2010, sampai stres dan gila karena kalah dalam pilkada. Yuli yang waktu itu berpasangan dengan Achmad Soenarno dan didukung PPP dan Partai Demokrat gagal terpilih pada pilkada Ponorogo yang berlangsung Agustus 2005, silam.
Yuli yang sebelumnya berprofesi sebagai pengusaha ternama di Ponorogo langsung masuk Rumah Sakit Jiwa Dr Radjiman Wedioningrat, Lawang, Malang, begitu kalah pilkada. Pihak keluarga mengatakan, Yuli jadi stres karena harus menanggung semua kekalahan itu. Hutang-hutannya jadi menumpuk hingga miliaran rupiah. Belum lagi rasa malunya lantaran sebelum pemilihan ia merasa yakin bakal mulus menjadi orang nomor satu di Kota Reog tersebut.
Bukan itu saja, Yuli juga belakangan dikejar masalah hukum karena terlibat kasus penipuan dengan menggunakan giro bilyet kosong. Yang jadi korban penipuan adalah Agus Khristianto, Welly, dan Rudi Hartono. Total uang yang diduga ditipu Yuli sebesar Rp 2,978 miliar.
Hamdi Muluk, Psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) mengatakan, bila ada calon pilkada atau caleg yang sampai stres atau gila karena sang calon berpikiran tidak realistik. Sebab dalam sebuah pemilihan, baik pilkada maupun legislatif seperti saat ini sarat dengan investasi.
"Saat ini dalam pilkada atau pemilihan legislatif berisiko tinggi. Harusnya yang terjun ke politik harus yang punya pikiran rasional. Sehingga mereka bisa memperhitungkan risiko-risiko yang akan dihadapi bila nantinya kalah," jelas Hamdi saat dihubungi detikcom.
Menurut Hamdi, kalau ada calon yang stres akibat kalah lebih disebabkan calon tersebut pikirannya lebih spekulatif. Sehingga mereka punya kecenderungan menghayal. Akibatnya, jika gagal mereka mudah stres dan gila.
Untuk itu, Hamdi berharap, para calon yang akan maju dalam pilkada atau Pemilu 2009, benar-benar berpikir rasional dan bisa mengukur diri. "Menurut pepatah Melayu, jangan besar bayang-bayang dari badan'," ujar Hamdi.
Selain itu, Hamdi juga meminta kepada masyarakat pemilih untuk teliti dalam memilih calon wakilnya. Sebab bukan tidak mungkin saat pemilu mendatang atau pilkada banyak calon yang pikirannya tidak rasional alias pengkhayal.
sumber: http://www.detiknews.com/read/2008/10/09/180530/1017888/159/stres-bangkrut-sampai-gila
Minggu, 02 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar