Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Rabu, 21 Januari 2009

Indeks Suap Institusi Bisnis dan Pemerintah 2008

JAKARTA (Bisnis.com): Kepolisian RI dan Ditjen Bea Cukai Depkeu masuk dalam posisi teratas institusi publik yang paling banyak terjadi suap pada tahun lalu, sedangkan Pengadilan tercatat sebagai yang paling tinggi nilai suapnya.

Hasil survey kualitatif Transparency International Indonesia (TII) mengenai potensi kasus suap antara pelaku bisnis dengan pejabat institusi publik bertajuk Indeks Suap 2008 yang dipublikasikan hari ini menunjukkan lembaga hukum yang paling rentan dengan suap.

Indeks Suap itu mengukur persepsi masyarakat terhadap kerentanan terjadinya suap di institusi publik, dengan jumlah responden sebanyak 2.371 pelaku bisnis, 1.074 pejabat publik dan 396 tokoh masyarakat.

Todung Mulya Lubis, Ketua Dewan Pengurus TII, menilai hasil survey itu memang menunjukkan suatu keironisan karena suap justru terjadi di institusi yang seharusnya menegakkan hukum.

“Institusi hukum terlihat paling tertinggal, seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan,” katanya.

Berdasarkan hasil survey, indeks suap Kepolisian mencapai 48% dengan total interaksi antara pelaku bisnis dan atau tokoh masyarakat dengan pejabat di lembaga itu berjumlah 1218.

Artinya, dari total interaksi itu, sekitar 48%nya terjadi suap. Adapun, nilai suap per transaksi tercatat Rp2,27 juta.

Bea Cukai yang masuk di posisi kedua memiliki indeks suap 41% dengan jumlah 423 transaksi dan nilai rata-rata suap Rp3,272 juta. Sementara itu, indeks suap Pengadilan mencapai 30% dari 204 transaksi dengan rata-rata nilai suap Rp102,412 juta.(mmh)


source: http://web.bisnis.com/umum/hukum/1id98874.html

1 komentar:

bao mengatakan...

WAKIL TUHAN ITU BERNAMA H.SUBARYANTO,SH.

Profesi hakim sering diidentikkan dengan wakil Tuhan di bumi ini. Namun

jika putusan-putusan sang hakim sering dan sangat jauh dari rasa keadilan

masyarakat banyak, maka perlu dipertanyakan lagi - tuhan yang mana yang

diwakili oleh sang hakim tersebut? Mari kita tinjau sepak terjang dari

salah satu 'wakil tuhan' ini.

Namanya Subaryanto, SH. Jabatan terakhir yang dipegang saat ini adalah

Kepala PN. Pontianak. Track record ybs ini rupanya sangat fenopmenal

juga, antara lain coba kita urai satu per satu.

Pada tahun 2005, ybs telah memvonis bebas atas 12 anggota DPRD terhadap

tuntutan korupsi APBD Singkawang TA. 2003. Materi yang diperkarakan

adalah seputar besarnya premi asuransi anggota DPRD Singkawang yang

jumlahnya mencapai Rp. 1,9 M. Kita jadi bertanya-tanya, premi 1,9 M itu

untuk jaminan pertanggungan seperti apa ya?

Pada tahun 2006, di PN. SOlo, si Subaryanto, SH. telah membebaskan

tergugat PT. Tunas Financindo Sarana atas tuntutan konsumen yang

dirugikan. Hebatnya, sang hakim menolak gugatan karena menganggap bahwa

yang dilakukan tergugat adalah telah sesuai dengan yang diperjanjikan

semula, yang notabene adalah klausula baku yang diharamkan oleh UUPK No.

8 Thn. 1999. Sang hakim ini juga tidak perduli jika dalam kasus ini

tergugat telah 'memaksa' konsumen membayar suap pengurusan surat sejumlah

Rp. 5,4 jt di Polda Jateng.

Penghujung 2008 Indonesian Corruption Watch melaporkan 58 oknum hakim

bermasalah, khususnya dalam perkara illegal logging. Coba tebak, ternyata

sang wakil tuhan ini, Subaryanto, SH termasuk salah satu dalam daftar

hakim bermasalah tersebut. Oleh ICW, hakim-hakim ini dianggap sengaja

membuat kesalahan dalam vonis. Ironisnya lagi, mereka justru mendapatkan

reward/promisi dari institusi Mahkamah Agung.

Awal tahun 2009, pada kasus trafficking dengan pelaku Sumiati,

Subaryanto,SH kembali menggebrak dengan putusan hebohnya. Sumiati yang

telah dikejar dan diincar oleh JPU yang bekerja sama dengan anggota

masyarakat dan telah masuk dalam DPO/59/V/2007 di Polda Kalbar, diputus

bebas oleh sang wakil tuhan ini. Padahal dua orang rekan kerja Sumiati

telah diputus bersalah dan telah menghuni penjara selama 2,2 tahun.

Benang merah dari keseluruhan kasus diatas adalah : suap. Tidak

membutuhkan pendidikan tinggi untuk mencium aroma tidak sedap ini. Namun

di negara ini, putusan hakim adalah mutlak dan menjadi rahasia negara.

Karena sifatnya itu maka tidak seorang atau institusi manapun yang berani

mempersoalkannya. Persoalannya adalah apabila putusan itu terasa sangat

jauh dari rasa keadilan masyarakat umum. Lebih celaka lagi bilamana

praktik-praktik semacam ini telah terstruktur mapan dalam lembaga

peradilan kita, mulai dari PN hingga ke MA. Rejeki berjamaah istilah

kerennya. Lantas apakah harus dibiarkan terus menerus terjadi?

Garda terakhir rasa keadilan kini berada di tangan Mahkamah Konstitusi.

Masyarakat sangat mengharapkan agar institusi ini mampu berperan sesuai

peruntukannya, demi mencegah arogansi dan anarkisme masyarakat terhadap

peradilan (yang tampaknya mulai menjadi trend) di negeri ini. Banyak

bukti yang menunjukkan bahwa kesabaran masyarakat sudah sangat menipis

terhadap institusi peradilan. Akhirnya, tidak ada salahnya jika MK

bersedia meninjau kembali setiap putusan yang dibuat oleh hakim-hakim

bermasalah, khususnya atas putusan hakim Subaryanto, SH ini.

Syukur-syukur bila keputusan-keputusan hakim tersebut dianulir, sekaligus

dibuat keputusan baru yang lebih memenuhi rasa keadilan dan kepastian

hukum.

Masyarakat sedang menunggu. Silahkan pak Mahfud.... !!!


bao@gmail.com