Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sabtu, 17 Januari 2009

Perempuan di Pemilu 2009



Oleh: Fitriyah
*

Suara Merdeka - HARUS diakui Undang-Undang (UU) 10/2008 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) lebih berpihak kepada perempuan dibandingkan dengan UU Pemilu sebelumnya. Keber­pihakan itu menyebar di beberapa pasal, yakni

Pasal 8 Ayat 1 Huruf d yang mengatur ketentuan partai peserta pemilu menyertakan minimal 30 per­sen keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat pusat.

Pasal 53 mengatur daftar bakal calon yang diajukan partai politik (parpol) memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.

Pasal 55 Ayat 2 mengatur daftar bakal calon disusun, untuk setiap tiga orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan.


Adapun pada UU Pemilu 12/2003, aturan yang melindungi perempuan di pencalonan hanya satu ayat, yakni Pa­sal 65 Ayat 1, yang memuat ketentuan bahwa partai peserta pemilu dapat mengajukan ca­lon untuk setiap daerah pemilihan (dapil) dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.


Sayangnya sama seperti pada Pemilu 2004 tidak ada sanksi keras bagi yang melanggar. Wewenang Komisi Pemi­lihan Umum (KPU) dalam hal ada partai yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 53 dan 55 UU 10/2008 hanya sebatas mengumumkan partai yang bersangkutan di media massa. Sanksi itu tentu tidak punya efek jera, apalagi dibuktikan pada Pemilu 2004 pemilih belum menjadikan pelanggaran tersebut sebagai dasar pertimbangan untuk mengalihkan pilihannya. Belum Berubah KPU pada 31 Oktober 2008 telah mengumumkan Daftar Calon Tetap (DCT) Ang­gota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabu­pa­ten/Kota sekaligus mengu­mum­kan partai-partai yang ti­dak memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan. Di pencalonan DPR, partai-partai tersebut adalah PP­RN, Partai Gerindra, PAN, Partai Republikan, PPP, dan Partai Patriot. Daftar calon ang­gota DPRD di semua tingkatan juga menunjukkan pola serupa, yakni terdapat sejumlah partai yang tidak memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan. Sejumlah partai juga tidak melaksanakan ketentuan penempatan minimal satu perempuan pada setiap tiga urutan calon, antara lain Partai Golkar di empat dapil DPR, PKB di tujuh dapil, PPP di 25 dapil, Partai Demokrat di satu dapil, PKS di empat dapil, dan PAN di 11 dapil. Hal itu menunjukkan upaya mendorong perempuan hadir di lembaga perwakilan melalui intervensi UU belum sepenuhnya diikuti dengan komitmen partai-partai peserta pemilu. Jumlah perempuan dalam DCT DPR Pemilu 2009 seba­nyak 3.910 orang. Dari jumlah itu hanya 12,7 persen yang berada di nomor urut satu, 19,46% di nomor urut dua, dan 25,93% di nomor urut tiga; sisanya ke­banyakan di nomor urut enam dan sembilan.


Dengan demikian, kalau­pun Pasal 214 yang masih me­ng­gunakan nomor urut dalam penetapan calon terpilih tidak dibatalkan oleh Putusan Mah­kamah Konstitusi (MK), maka jumlah perempuan yang terpilih sebagai anggota DPR tidak berbeda jauh dari hasil Pemilu 2004. Sebagai pembanding, da­lam DCT DPR Pemilu 2004 sebanyak 9,7% perempuan di nomor satu dan 16,8 % berada di nomor urut dua; yang terpilih sebanyak 11,8 persen dari total 550 anggota DPR. Hasil kajian pada negara-ne­gara yang menggunakan sistem selang-seling dalam daftar ca­lon, yakni penempatan pe­rem­puan pada urutan pertama atau kedua, bergantian, dan dipa­dukan dengan sistem proporsional tertutup atau terbuka terbatas, efektif meningkatkan jumlah perempuan di lembaga legislatif. Tetapi pada Pemilu 2009, hasilnya diprediksi tidak akan signifikan mendongkrak jumlah anggota legislatif perempuan, karena ketentuan yang mengatur penempatan perempuan pada setiap tiga urutan na­ma calon dalam praktiknya ke­banyakan caleg perempuan di­pasang partai di urutan ketiga. Nomor urut tiga bukan nomor potensial terpilih. Pada Pemilu 2004, yang meraih tiga kursi untuk satu dapil hanya oleh partai besar; itu pun terjadi di wilayah basisnya, bukan oleh partai menengah, apalagi partai kecil.


Partai-partai yang pada Pemilu 2004 mendapat perolehan kursi memenuhi ambang batas (electoral tresshold), juga minim dalam menempatkan perempuan di nomor urut satu. Tercatat Partai Golkar hanya memasang enam calon, PDI-P dua calon, PKB 10 calon, PPP 12 calon, Partai Demokrat 14 calon, PKS satu calon, dan PAN 10 calon. Dibandingkan dengan pencalonan di Pemilu 2004, tidak banyak perubahannya, bahkan PDI-P dan PKS menurun.


Pencalonan perempuan nomor urut satu di Pemilu 2004 adalah Partai Golkar dengan enam calon, PDI-P empat calon, PKB lima calon, PPP enam calon, Partai Demokrat tujuh calon, PKS empat calon, dan PAN 10 calon. Oleh karenanya kekhawatiran bahwa formula penetapan calon terpilih ber­dasarkan suara terbanyak yang mengacu kepada Putusan MK akan merugikan perempuan, untuk kasus Pemilu 2009 tidak sepenuhnya tepat, mengingat semangat keberpihakan kepada perempuan di UU 10/2008 tidak dibarengi dengan meningkatnya komitmen parpol dalam mendorong perempuan berpeluang terpilih menjadi anggota legislatif.


Pengalaman DPD Metode pemilihan anggota DPD adalah dengan cara memilih orang, dan kemenangannya ditentukan oleh peringkat suara terbanyak. Oleh karenanya untuk terpilih bergantung kepada kerja keras calon yang bersangkutan. Formula itu sama persis dengan yang akan diberlakukan untuk terpilihnya anggota DPR/DPRD berdasarkan Putusan MK yakni menggunakan suara terbanyak calon di partai bersangkutan. Pemilu 2004 untuk DPD memberi bukti bahwa perempuan bisa memenangi pemilu.


Perempuan terpilih di DPD menunjukkan angka yang lebih baik, yakni sebesar 21,09 persen. Dari ketentuan UU bahwa setiap provinsi diwakili empat anggota DPD, maka Provinsi Riau diwakili tiga perempuan, Provinsi Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat diwakili oleh dua perempuan, serta sebanyak 17 provinsi -yaitu Jawa Tengah, Bali, DKI Jakarta, NAD, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, Banten, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, dan Irian Jaya Barat- diwakili oleh satu perempuan. Di sejumlah provinsi, raihan suara anggota DPD perempuan juga tertinggi, yakni di Jawa Tengah, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Irian Jaya Barat, Maluku, Sumatra Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Dari pengalaman Pemilu DPD, di Pemilu 2009 perempuan tetap berpeluang terpilih. Untuk itu, caleg perempuan bisa belajar dari strategi pemenangan anggota DPD.(68 ) -


*Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Undip Semarang.

Tidak ada komentar: