Kepada pers di ruang wartawan DPR Jakarta, Kamis, Jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto menjelaskan masalah pornografi dalam beberapa bagiannya, seperti menyangkut masalah pakaian, sangat terkait dengan keyakinan seseorang. "Pakaian seorang muslim tentunya berbeda dengan pakaian seorang Hindu. Dengan demikian, aspek pornogravitasnya pun mestinya berbeda," ujarnya.
Dengan tidak jelasnya basis teologis yang digunakan dalam RUU itu, definisi tentang pornografi dalam RUU ini juga menjadi kabur. Lebih jauh ditegaskannya, apabila sejak awal definisi pornografi sudah kabur, pengaturan berikutnya juga menjadi tidak jelas.
Ketidakjelasan inilah yang mengundang reaksi, khususnya komunitas nonmuslim di Bali maupun daerah lainnya. Mereka khawatir sebagian keyakinannya tereliminasi atau bisa dikurangi.
HTI memandang persoalan akan berbeda apabila RUU itu dibuat berdasarkan ketentuan syariat, sehingga definisi akan mudah dibuat serta tidak akan menyinggung agama lainya. "Di sinilah pentingnya penerapan syariat di tengah-tengah masyarakat. Syariat akan mengatur berbagai hal secara jelas dan konsisten untuk seluruh masyarakat," ujarnya.
Sebaliknya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menuding para penolak RUU Pornografi telah sesat pikir. "Yang menolak RUU Pornografi telah melakukan lima kekeliruan berpikir. Pertama, melupakan nilai-nilai agama yang diagungkan oleh Pancasila yang berarti mengagungkan aturan luhur," kata anggota F-PKS Almuzammil Yusuf, di Jakarta, Kamis (18-9).
Menurut anggota Komisi I DPR ini, selain melupakan nilai agama, para penolak RUU Pornografi juga dinilai tidak siap berdemokrasi. Alasannya, proses panjang dan dialektika antarfraksi yang sudah berjalan lama tidak dihargai dengan semestinya. "Mereka menolak membuktikan, mereka belum siap berdemokrasi, karena mereka tak menghormati proses panjang wakil rakyat mendiskusikan RUU ini," terang Almuzammil.
Selain dua alasan di atas, Almuzammil menilai penolakan kelompok tertentu pada RUU Pornografi membuktikan mereka tidak siap menjadi bagian dari keluarga besar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Mereka melupakan amanat UUD 45 Pasal 31 Ayat (3) bahwa pendidikan nasional bertujuan meningkatkan iman takwa dan akhlak mulia. Selain itu, mereka meremehkan upaya penyelamatan generasi muda dan anak," kata dia.
Sumber: Lampungpost
Tidak ada komentar:
Posting Komentar